Para peneliti telah menemukan bukti bahwa tinggal di atas air akan mampu memberikan banyak keuntungan bagi kesehatan jiwa manusia. Di samping memberikan pemandangan indah dan angin laut yang sejuk, tinggal di atas air dan menikmati pemandangan laut bisa mengurangi stres, dan meningkatkan kesejahteraan.
Hal itu mungkin sedikit bias, tetapi baru-baru ini penelitian dari Health & Place membantu para peneliti memahami kemampuan besar alam untuk memberikan terapi bagi manusia. Beberapa minggu lalu, sekelompok peneliti menemukan wanita yang tinggal di area hijau seperti hutan memiliki usia hidup lebih panjang. Temuan mereka tersebut kemudian menginspirasi penelitian lainnya untuk mencari fungsi kesehatan yang bisa diperoleh dari “area biru” seperti lautan dan air.
Berdasarkan basis data nasional, para ilmuwan tersebut mendapati warga Selandia Baru yang tinggal dekat dengan air mengaku tidak banyak mengalami gangguan psikologis. Untuk validasi tambahan, para ilmuwan kemudian menguji apakah manfaat tersebut berkorelasi dengan uang karena hidup di air tidaklah murah. Hasilnya, setelah dilihat dari pendapatan, biaya, dan faktor-faktor lainnya, efek hilangnya gangguan psikologis tersebut benar adanya.
Di Anggap Belum siap
Kendati demikian, hidup di atas air masih asing bila diterapkan di Indonesia. Padahal, hidup di atas air sudah mulai diterapkan di berbagai negara seperti di Belanda, Inggris, Uni Emirat Arab, China, dan Nigeria.
“Orang Indonesia belum siap hidup di atas air. Saya rasa masalahnya adalah bahwa penduduk Indonesia itu butuh edukasi untuk hal tersebut karena pemikiran yang ada sekarang hidup itu ya di atas tanah,” ucap arsitek PT Arya Cipta Graha, Cosmas Gozali.
Cosmas menuturkan saat ini untuk tinggal di apartemen saja masyarakat masih sulit apalagi hidup di atas air. Dia memperkirakan butuh waktu beberapa generasi untuk bisa merealisasikan upaya itu. Keputusan untuk tinggal dalam hunian di atas air di negara-negara tersebut berdasarkan alasan yang sama, yakni ketiadaan lahan untuk membangun.
“Di Inggris, kami tidak kekurangan air dan hujan tetapi kami kekurangan rumah dan lahan untuk membangun,” kata arsitek dRMM, Alex de Rijke. Namun untuk saat ini Indonesia belum menghadapi kondisi seperti yang terjadi di Inggris. Indonesia masih memiliki cukup banyak lahan untuk dijadikan lokasi proyek pembangunan baik rumah tapak maupun apartemen.
“Belanda memang nggak punya pilihan, di Venezia juga mereka nggak punya pilihan tapi kalau di kita itu masih banyak pilihan. Karena itu banyak yang masih memilih untuk hidup di atas tanah,” jelas Cosmas. Meski begitu, Cosmas menyarankan pemerintah untuk tidak membangun rumah tapak terutama dalam merealisasikan Program Nasional Pembangunan Satu Juta Rumah, melainkan rumah vertikal atau apartemen.
Sumber: Kompas.com