Pemerintah baru saja menerapkan regulasi baru di bidang perpajakan properti. Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 tahun 2016 yang berlaku sejak Agustus 2016 menyatakan bahwa pajak-pajak dalam transaksi properti harus dibayar dimuka.
PP 34 tahun 2016 ini mengatur tentang PPh (pajak penghasilan) atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan, PPJB tanah dan bangunan, serta perubahannya. Bila sebelumnya bisa dibayar di belakang, saat atau setelah transaksi, sekarang pajak-pajak properti seperti PPN, bea pengalihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), PPH, dan PPJB harus dibayar dimuka.
Ini berarti, konsumen harus menyediakan dana awal yang besar sebelum memutuskan membeli properti. Untuk PPn dan BPHTB, nilainya sebesar 15 persen, masing-masing 10 dan 5 persen dari nilai transaksi. Tapi, ada berita baik dimana PPh akan diturunkan dari 5 persen menjadi 2,5 persen.
Karena nilai yang cukup besar ini, peraturan ini dikhawatirkan akan menurunkan pasar properti. Karena itu, banyak pengembang yang menyiasatinya dengan memasukkan pajak ke dalam komponen harga. Dengan cara tersebut, konsumen yang membeli properti dengan KPA/KPR akan terbantu karena pajaknya ikut dibiayai bank. Konsekuensinya, angsurannya lebih besar karena nilai kreditnya juga lebih besar.
Walaupun dinilai memberatkan konsumen, regulasi baru ini bisa memperjelas alur pembelian rumah dan apartemen. Selama ini, setoran pajak dari pengembang ke kantor pajak cukup memusingkan dan pengembang sering diperiksa setiap kali melaporkan pembayaran pajaknya. Dengan regulasi ini, malah pengembang akan lebih jelas dan tidak perlu diperiksa karena semua pajaknya sudah dibayar dan disetorkan di awal.
Keuntungan lain, penjualan pengembang menjadi lebih pasti karena konsumen yang sudah memutuskan membeli atau memesan dipastikan tidak bisa membatalkan. Sebelumnya, konsumen masih bisa membatalkan karena belum perlu membayar pajak dan hanya menghanguskan biaya booking fee yang biasanya senilai Rp 5 juta.
Kelebihan lainnya, pelaporan pajak dari notaris, kantor pajak, dan perusahaan pengembang juga akan lebih seragam di semua wilayah. Selama ini prakteknya sering berbeda karena perbedaan definisi pajak di setiap daerah. Inilah yang mendorong pengembang untuk membangun perusahaan baru di wilayah pengembangan proyeknya agar sama dengan aturan setempat.
Sumber: Housing Estate