Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi) meminta semua pengembang untuk profesional dalam mengembangkan dan membangun rumah susun dengan cara menyelesaikan persyaratan sertifikat tanah sebelum melakukan proses jual-beli.
Selama ini, proses jual-beli sering dilakukan sebelum Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG) diterbitkan. Akibatnya, pemilik unit rumah susun yang telah melunasi pembelian belum bisa memiliki sertifikat sampai bertahun-tahun dari unit tersebut telah diserahterimakan.
Ini bertentangan dengan Pasal 44 UU 20/2011 tentang Rumah Susun yang mengatakan bahwa proses jual beli hanya bisa dilakukan setelah sertifikat-sertifikat tersebut diterbitkan. Biasanya, tidak adanya sertifikat ini menjadi alasan bagi para pengembang untuk tetap mengelola rumah susun dan menghindari pembentukan persatuan pemilik dan penghuni satuan rumah susun (P3SRS). Warga dianggap tidak memiliki hak suara untuk membentuknya karena belum memiliki sertifikat.
Ketua Umum Aperssi, Ibnu Tadji, menghargai keputusan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan permohonan peninjauan kembali (PK) terhadap UU 20/2011 tentang rumah susun. (Baca juga artikel kami Undang-Undang tentang Rumah Susun Dinilai Hanya Memihak Developer). Menurutnya, pengembang sekarang harus berhati-hati karena bisa terkena gugatan perdata jika tidak mengikuti ketentuan MK.
Ketua Pusat Studi Hukum Properti Indonesia (PSHPI), Erwin Kallo, mengatakan bahwa keputusan MK tidak menjawab permasalahan pembentukan P3SRS. Warga selama ini meminta membentuk P3SRS, padahal belum memiliki sertifikat hak milik atas satuan rumah susun (SHMSRS). Padahal, pengurusan sertifikat itu mensyaratkan adanya pengesahan Akta pemisahan dan Uraian Teknis terhadap rumah susun dari Gubernur. Proses ini sering lambat karena proses birokrasi yang berbelit. Lalu, dimana hak suara warga jika belum terbit sertifikatnya?
Hal ini juga dikatakan Acting Property Manager PT Mitra Investama Perdana, Suyatno Surorejo, selaku pengelola apartemen Green Pramuka City, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Walaupun sudah dibentuk sejak tahun 2012, P3SRS Green Pramuka City saat ini belum sah karena warga belum mengantongi SHMSRS. P3SRS baru diangkap sah setelah SHMSRS dikeluarkan.
“SHMSRS ini sendiri dapat diterbitkan setelah adanya pertelaan. Pertelaan dapat disahkan setelah pembangunan seluruh satuan rumah susun dalam kawasan GPC telah selesai dibangun sesuai dengan perizinan,” katanya. Apartemen yang akan memiliki 17 menara ini baru selesai empat menara, dan empat lainnya segera rampung.
Menurut Ibnu, seharusnya pusan MK menjadi jelas, bahwa pembentukan P3SRS harus dibentuk setelah pengembang melakukan serah terima unit, tidak harus menunggu seluruh unit selesai terbangun.
Sumber: properti.bisnis.com